Selasa, 28 Oktober 2025

Kekerasan Fisik, Dalam mata anak SMP

 




Apa itu kekerasan Fisik?

 Kekerasan fisik adalah tindakan yang menggunakan kekuatan tubuh untuk menyakiti, melukai, atau menimbulkan penderitaan fisik pada orang lain. Ini termasuk kontak langsung seperti memukul, menendang, menampar, atau mendorong dengan tujuan menyakiti.

 Definisi Kekerasan Fisik
Menurut Kompas.com, kekerasan fisik adalah tindak kekerasan yang dilakukan dengan mengandalkan kekuatan tubuh untuk melukai orang lain. Contohnya termasuk pemukulan, penendangan, atau bahkan pembunuhan.(Kompas.com – Pengertian Kekerasan Fisik dan Contohnya)
Wikipedia Indonesia menyebutkan bahwa kekerasan fisik melibatkan kontak langsung yang dimaksudkan untuk menimbulkan intimidasi, cedera, atau kerusakan tubuh.(Wikipedia Indonesia – Kekerasan Fisik)
Dalam buku “Gender dan Kekerasan Perempuan” (2022), kekerasan fisik dijelaskan sebagai tindakan dengan kekuatan fisik yang bertujuan melukai orang lain secara langsung.

 Contoh Kekerasan Fisik
  • Menampar atau memukul
  • Menendang atau mendorong
  • Mencekik atau menjambak
  • Menggunakan benda tajam atau keras untuk melukai
  • Mengurung atau membatasi gerak tubuh secara paksa

Ciri-Ciri Kekerasan Fisik
Terjadi kontak langsung antara pelaku dan korban
Menimbulkan luka fisik, memar, atau trauma
Dilakukan dengan niat menyakiti atau mengintimidasi
Dapat terjadi dalam rumah tangga, sekolah, tempat kerja, atau ruang publik

Dampak Kekerasan Fisik
Luka fisik dan trauma jangka panjang
Gangguan psikologis seperti PTSD, depresi, atau kecemasan
Penurunan rasa aman dan kepercayaan diri
Dampak sosial seperti isolasi atau stigma

Fakta Kekerasan Fisik di Indonesia
7,6 juta anak Indonesia mengalami kekerasan dalam setahun terakhir, termasuk kekerasan fisik, emosional, dan seksual. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) mencatat bahwa anak usia 13–17 tahun paling rentan menjadi korban.(Tirto – 7,6 Juta Anak Alami Kekerasan)
Kekerasan fisik merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling banyak diadukan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), bersama dengan kekerasan psikis dan seksual. (GoodStats – Kekerasan Remaja Tembus 8 Ribu Kasus)
Pada tahun 2024, tercatat 20.968 pengaduan kasus kekerasan, dengan 4.618 korban laki-laki dan 18.146 korban perempuan. Ini mencakup berbagai bentuk kekerasan, termasuk penelantaran, eksploitasi, trafficking, dan kekerasan fisik. (GoodStats – Kekerasan Remaja Tembus 8 Ribu Kasus)
Komnas Perlindungan Anak menerima 4.388 laporan kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2024 hingga awal 2025, meningkat 34% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dalam eskalasi kekerasan.(Media Indonesia – Kekerasan Anak Naik 34%)

Pembahasan Kasus

 Kasus Kekerasan Fisik oleh Aparat dalam Aksi Tolak Revisi UU TNI (2025)

 Latar Belakang
Pada awal tahun 2025, pemerintah Indonesia mengajukan revisi terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), yang menuai kontroversi luas di kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi hak asasi manusia. Revisi tersebut dinilai berpotensi memperluas peran militer dalam urusan sipil, termasuk dalam penegakan hukum dan pengamanan wilayah sipil tanpa kontrol yang memadai dari lembaga sipil.
Kekhawatiran utama publik adalah kembalinya bayang-bayang militerisme era Orde Baru, di mana TNI memiliki peran dominan dalam kehidupan politik dan sosial masyarakat. Dalam konteks demokrasi yang masih berkembang, revisi ini dianggap sebagai langkah mundur yang mengancam prinsip supremasi sipil dan akuntabilitas negara terhadap rakyatnya.

 Kronologi Aksi dan Kekerasan
Pada tanggal 20 Maret 2025, aksi demonstrasi besar-besaran digelar secara serentak di berbagai kota di Indonesia, termasuk Jakarta, Yogyakarta, Makassar, dan Medan. Ribuan mahasiswa, aktivis, dan warga sipil turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI. Aksi ini berlangsung damai pada awalnya, dengan orasi, poster, dan long march sebagai bentuk ekspresi demokratis.
Namun, menurut laporan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), aparat keamanan mulai melakukan tindakan represif terhadap massa aksi di 10 wilayah berbeda. Bentuk kekerasan fisik yang dilaporkan meliputi:
Pemukulan dengan tongkat dan tameng
Penendangan terhadap peserta aksi yang duduk diam
Penangkapan paksa tanpa prosedur hukum
Intimidasi verbal dan ancaman kekerasan lanjutan
Beberapa demonstran mengalami luka serius dan harus mendapatkan perawatan medis. Bahkan, terdapat laporan bahwa aparat menembakkan gas air mata ke arah kerumunan tanpa peringatan, menyebabkan kepanikan dan cedera tambahan.

 Analisis Struktural: Kekerasan yang Terorganisir?
YLBHI menekankan bahwa kekerasan ini bukan sekadar tindakan spontan dari individu aparat, melainkan bagian dari pola struktural yang berulang. Dalam laporan mereka, disebutkan bahwa tindakan represif terhadap demonstrasi damai telah menjadi praktik rutin dalam penanganan aksi publik yang mengkritik kebijakan negara.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas institusional dan komando operasional dalam tubuh aparat keamanan. Apakah kekerasan tersebut merupakan inisiatif lokal, atau bagian dari instruksi sistematis untuk membungkam suara rakyat?

 Implikasi terhadap Hak Asasi Manusia
Kasus ini mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warga sipil bukan hanya pelanggaran hukum nasional, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip internasional seperti yang tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Dalam negara demokratis, aparat seharusnya bertindak sebagai pelindung warga, bukan sebagai alat represi terhadap suara kritis. Ketika kekerasan fisik menjadi respons terhadap ekspresi damai, maka demokrasi itu sendiri sedang berada dalam ancaman.

 Refleksi dan Tuntutan Publik
Pasca insiden ini, berbagai organisasi masyarakat sipil menuntut:
Investigasi independen terhadap tindakan kekerasan aparat
Reformasi sistem komando dan akuntabilitas dalam institusi keamanan
Penolakan terhadap revisi UU TNI yang memperluas peran militer dalam urusan sipil
Perlindungan hukum bagi demonstran dan korban kekerasan
Kasus ini menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga soal ruang aman bagi rakyat untuk bersuara tanpa takut disakiti. Kekerasan fisik oleh negara terhadap rakyatnya adalah bentuk pengkhianatan terhadap janji konstitusional: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Pendapat Pribadi

Kekerasan fisik selalu menjadi paradoks dalam sejarah manusia. Di satu sisi, ia dipandang sebagai tindakan biadab yang merampas kemanusiaan. Di sisi lain, kekerasan sering lahir dari situasi di mana akal dan kata-kata sudah tidak lagi didengar. Dalam sejarah, kekerasan tidak pernah berdiri sendiri. Ia lahir dari sebab, dari ketimpangan, penindasan, atau ketidakadilan yang menumpuk dan membusuk di bawah permukaan. Ketika semua pintu dialog tertutup, tinju menjadi bahasa terakhir yang dimengerti dunia.

Namun demikian, kekerasan fisik tidak boleh dianggap sebagai solusi. Ia bisa menghancurkan lebih cepat daripada memperbaiki. Sekali dilepaskan, kekerasan jarang berhenti di tempat yang sama; ia tumbuh, menular, dan seringkali menelan juga mereka yang memulainya.

Mungkin, seperti kata Tan Malaka, “akal harus mendahului amarah.” Artinya, kekuatan terbesar manusia bukan pada otot, melainkan pada kesadarannya. Kekerasan bisa menjadi alat, tapi hanya bila diarahkan oleh nalar dan tujuan moral yang jelas misalnya membebaskan diri dari tirani, bukan menindas yang lain.

Sementara itu, Machiavelli akan mengingatkan bahwa kekerasan memang kadang perlu, namun harus digunakan dengan cepat, tegas, dan tidak berulang, agar tidak berubah menjadi kekejaman tanpa arah.

Pada akhirnya, manusia beradab bukan berarti manusia yang tak pernah menggunakan kekerasan, melainkan mereka yang menyadari batas dan akibatnya. Kita tidak bisa sepenuhnya menghapus kekerasan dari dunia, tapi kita bisa menundukkannya di bawah kendali akal dan nurani.

Karena pada akhirnya, yang membedakan manusia dari binatang bukanlah kekuatannya, melainkan kemampuannya untuk menahan diri ketika ia bisa melukai.


Mungkin sekian dari apa yang bisa saya sampaikan kali ini, Terimakasih.

1 komentar:

Kekerasan Fisik, Dalam mata anak SMP

  Apa itu kekerasan Fisik?   Kekerasan fisik adalah tindakan yang menggunakan kekuatan tubuh untuk menyakiti, melukai, atau menimbulkan pend...