“Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin.
“Masihkah kita percaya pada takdir, ketika logika mampu menjelaskan segalanya?”
Salam akal sehat untuk kita semua.
Saya, Axa, kali ini saya memberikan kalian kesempatan untuk menyelami jika tidak satu, maka beberapa hal tentang Madilog sebuah buku yang baru sempat saya baca akhir-akhir sejauh sampai dengan bab 1. Buku yang, saya yakin, sudah tidak asing lagi terdengar di telinga siapa pun yang pernah bersentuhan dengan filsafat, terutama di Indonesia.
Madilog bukan sekadar judul. Ia adalah metode berpikir.
Ditulis oleh Ibrahim Datuk Tan Malaka, sosok yang tak hanya dikenal sebagai pemikir, tapi juga dijuluki Bapak Republik Indonesia sebuah gelar yang lahir dari perjuangannya mencetuskan bentuk negara kita: republik.
Dalam Madilog, Tan Malaka menekankan bahwa bangsa ini tak akan benar-benar merdeka jika cara berpikirnya masih terkekang oleh mistik dan dogma. Ia menawarkan jalan keluar: berpikir secara materialis, dialektis, dan logis. Buku ini lahir di tengah penjajahan Jepang, sekitar tahun 1943, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai perlawanan. Sebuah fondasi intelektual untuk kemerdekaan sejati bukan hanya dari penjajah, tapi dari kebodohan dan manipulasi.
Isi Bab 1: Logika Mistik
“Apakah kita benar-benar berpikir, atau hanya mewarisi keyakinan tanpa bertanya?”
Tan Malaka membuka bab ini dengan pertanyaan besar: mengapa bangsa yang kaya akan budaya dan sejarah justru tertinggal dalam ilmu dan kemajuan? Jawabannya, menurutnya, terletak pada logika mistika cara berpikir yang tidak berpondasi pada fakta, tapi pada keyakinan, tradisi, dan takhayul.
Ia menyebut logika mistika sebagai penyakit berpikir. Bukan karena mistik itu sendiri yang jahat, tapi karena ia menutup pintu bagi pertanyaan, bagi keraguan, bagi pembuktian. Dalam logika mistika, sesuatu dianggap benar karena “sudah begitu dari dulu”, atau jika kita ambil seperti perkataan orang bali "Nak mule keto" hal ini yang menjadi dahlilnya bukan karena diuji atau dipikirkan.
Tan Malaka tidak hanya mengkritik, ia juga menawarkan jalan keluar: Madilog Materialisme, Dialektika, dan Logika. Ia ingin mengganti cara berpikir instan dan pasrah dengan cara berpikir ilmiah dan kritis. Ia menantang kita untuk tidak hanya percaya, tapi juga memahami. Tan Malaka tidak sedang bermain kata. Ia sedang menggugat warisan berpikir yang membuat bangsa ini berjalan tanpa arah. Dalam Logika Mistika, ia menunjukkan bahwa banyak dari kita lebih percaya pada suara gaib daripada suara akal. Kita lebih tunduk pada tradisi daripada pada pembuktian.
Ia menyindir kebiasaan masyarakat yang menganggap sesuatu benar hanya karena “begitu kata orang tua”, atau “begitu kata kitab”. Padahal, kebenaran sejati tidak lahir dari pengulangan, tapi dari pengujian. Ia menantang kita untuk bertanya: Apakah keyakinan kita masih berdiri jika diuji oleh logika?
“Kalau sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik, maka matilah Ilmu Pasti itu.”
Tan Malaka tahu, membebaskan bangsa dari penjajahan fisik tidak cukup. Ia ingin membebaskan cara berpikir. Ia ingin agar rakyat Indonesia tidak hanya tahu apa yang harus dilakukan, tapi juga mengapa mereka melakukannya.
Bab ini tersendiri adalah ajakan untuk berani berpikir. Untuk berani meragukan. Untuk berani meninggalkan cara berpikir mistik yang pasrah, dan menggantinya dengan cara berpikir ilmiah yang aktif, dialektif, dan logis.
Refleksi pribadi
Dalam kesempatan saya untuk membaca dan mencerna Madilog itu tersendiri, semakin saya yakin dan paham mengapa Tan Malaka mengatakan ini adalah metode berpikir yang perlu dimiliki oleh bangsa kita. Melihat ke lingkungan sekitar saya, saya dapat mengambil banyak contoh terjadinya fenomena kepercayaan tanpa dasar logis atau pengujian ini terjadi. Jika kita mengambil tiga pilar fundamental dari ajaran Madilog itu tersendiri, yaitu materialisme, dialektika, dan logika, bukan hanya kita dapat memberantas tahayul atau logika mistika itu tersendiri, namun membuka ruang retoris dan pengujian dalam banyak, jika tidak semua, aspek kehidupan dan membongkar segala alasan dan dasar dari hal-hal yang terjadi dan kita percaya.
Jika hal tadi tercapai, saya rasa kita dapat mendapati diri kita pada evolusi intelektual dalam skala masif, karena dasar ilmu itu sendiri adalah pengujian pada subjek ilmu itu sendiri, baik matematika, ilmu alam, hingga ke metafisika. Namun jika membicarakan hal tadi, saya rasa akan sulit dicapai dengan keadaan sekarang ini. Bukan hanya halangan eksternal, namun bahkan sampai yang menggeluti pendidikan itu sendiri masih kadang terbungkus dalam belenggu, baik ego, kepercayaan, atau superioritas, yang membuat proses dialektika atau pengujian itu sendiri dihambat oleh pelaku-pelaku tadi. Tapi saya tahu mimpi ini tidak mustahil dan bisa kita mulai dari satu langkah kecil, seperti bertanya: Mengapa?